Jumat, 29 Desember 2017

Studi Kasus Numerik Berkenaan dengan Etika Profesi



1.  Studi Kasus yang Berkaitan Dengan Dilema Etika Profesi Pada Bidang Design dan Proses Produksi

Ford Pinto adalah mobil yang diproduksi oleh perusahaan Ford. Desainer Ford Pinto menempatkan tangki bahan bakar di bagian belakang mobil, di bagian belakang poros. Hal ini dilakukan untuk menciptakan ruang bagasi yang lebih besar. Desain ini sangat berbahaya, jika mobil ditabrak dari belakang bisa menyebabkan ledakan yang disebabkan tangki bahan bakar.
Kontroversi seputar Ford Pinto menyangkut penempatan tangki bahan bakar mobil. Penempatan tangki bahan bakar terletak di belakang poros belakang, bukan di atasnya. Hal ini dilakukan untuk menciptakan ruang bagasi yang lebih besar. Masalah dengan desain, yang kemudian menjadi jelas, adalah bahwa itu membuat Pinto lebih rentan terhadap tabrakan belakang. Kerentanan ini ditingkatkan dengan fitur lain dari mobil. Tangki gas dan poros belakang dipisahkan dengan hanya sembilan inci. Ada juga baut yang diposisikan dengan cara yang mengancam tangki bensin. Akhirnya, desain pipa pengisi bahan bakar menghasilkan probabilitas yang lebih tinggi yang akan memutuskan sambungan dari tangki dalam hal terjadi kecelakaan bias terjadi, menyebabkan tumpahan gas yang dapat menyebabkan kebakaran yang berbahaya. Karena banyaknya kelemahan dalam desain ini, Pinto menjadi pusat perdebatan publik.





Kronologi Kasus

Pada tanggal 10 Agustus 1978, sebuah Ford Pinto ditabrak dari belakang di jalan raya Indiana. Hantaman tabrakan itu menyebabkan tangki bahan bakar Pinto pecah, meledak dan terbakar. Hal ini mengakibatkan kematian tiga remaja putri yang berada di dalam mobil itu. Kejadian ini bukan pertama kalinya Pint terbakar akibat tabrakan dari belakang. Dalam tujuh tahun sejak peluncuran Pinto, sudah ada 50 tuntutan hukum yang berhubungan dengan tabrakan dari belakang. Meskipun demikian, kali ini Ford dituntut di pengadilan criminal akibat penumpangnya tewas.
Untuk kasus ini, desainer dan pihak Ford secara keseluruhan tidak memikirkan dampak berbahaya yang bisa terjadi. Desain dari mobil Ford Pinto tidak memikirkan aspek keamanan dan keselamatan nyawa pengemudi dan penumpangnya.
Dilema yang dihadapi para desainer yang mengerjakan Pinto adalah menyeimbangkan keselamatan orang yang mengendarai mobil dan kebutuhan untuk memproduksi Pinto dengan harga yang dapat bersaing di pasar. Mereka harus berusaha menyeimbangkan tugas mereka kepada public dan tugas mereka kepada atasan. Akhirnya usaha Ford untuk menghemat beberapa dolar dalam biaya manufaktur mengakibatkan pengeluaran jutaan dolar untuk membela diri dari tuntutan hukum dan membayar ganti rugi korban. Tentu saja ada juga kerugian akibat hilangnya penjualan akibat publisitas buruk dan persepsi publik bahwa Ford tidak merancang produknya untuk keamanan pengendara.Semua menjadi dilemma. Karena sangat sulit kalau sebuah institusi lebih mengutamakan laba perusahaan daripada nyawa manusia.
Pada awalnya desain yang berbahaya ini telah diketahui oleh perusahaan Ford sebelum mobil Ford Pinto dipasarkan, namun Ford lebih memilih untuk membayar biaya ganti rugi kematian daripada mendesain ulang tangki bahan bakar, karena dirasa akan membutuhkan biaya yang lebih besar untuk mendesain ulang tangki bahan bakar.

Analisis Kasus Ford Pinto

Etika hendaknya diterapkan dalam bisnis dengan menunjukkan bahwa etika konsistem dengan tujuan bisnis, khususnya dalam kencari keuntungan. Jika perusahaan Ford memperhatikan keselamatan pengendara dalam produksi Ford Pinto, perusahaan Ford tidak akan mengeluarkan biaya tambahan untuk memberikan ganti rugi pada korban kecelakaan.
Dalam pengerjaan teknis perancangan dan pembuatan sebuah mobil Ford Pinto, terjadi juga pelanggaran kode etik seorang insinyur/engineer yaitu
”… membuat keputusan yang konsistem terhadap keselamatan, kesehatan, dan kesejahteraan public, serta menghindari sekaligus menyungkap faktor-faktor yang membahayakan public dan lingkungan.”
Etika bisnis berkonsentrasi pada standar moral sebagaimana diterapkan dalam kebijakan, institusi, dan pelaku bisnis. Etika bisnis merupakan studi standar formal dan bagaimana standar itu diterapkan ke dalam sistem dan organisasi yang digunakan masyarakat modern untuk memproduksi dan mendistribusikan barang dan jasa, serta diterapkan kepada orang-orang yang ada di dalam organisasi.

Sebagai seorang wirausaha hendaknya menerapkan etika saat berusaha. Dalam bidang otomotif ada etika engineering dan etika bisnis yang mengikat dan harus ditaati. Kejayaan suatu perusahaan besar dituntut dari hal-hal seperti kepercayaan, nama baik perusahaan, produk yang berkualitas, dan tentunya ketahanan terhadap persaingan dengan kompetitor. Dalam kasus Ford Pinto, keputusan bisnis yang dibuat untuk memenangkan persaingan dengan kompetitor telah mengabaikan kepercayaan, nama baik perusahaan, kualitas produk dengan mengabaikan etika-etika dasar yang harusnya ditaati.

Kasus Ford Pinto tidak akan terjadi jika kebijakan bisnis untuk mendapatkan laba yang lebih besar dengan mengorbankan keamanan tidak diambil oleh Ford. Kepercayaan konsumen terhadap sebuah produk bisnis sangatlah penting, karena menjadi poin dasar dalam penentuan pemasaran produk dan keberlangsungan sebuah perusahaan.


2. Studi Kasus yang Berkaitan Dengan Dilema Etika Profesi Pada Bidang Material
Kasus
Kasus PT KAI
Diduga terjadi manipulasi data dalam laporan keuangan PT KAI tahun 2005, perusahaan BUMN itu dicatat meraih keutungan sebesar Rp 6.900.000.000,00. Padahal apabila diteliti dan dikaji lebih rinci, perusahaan seharusnya menderita kerugian sebesar Rp 63.000.000.000,00. Komisaris PT. KAI, Hekinus Manao yang juga sebagai Direktur Informasi dan Akuntansi Direktorat Jenderal Perbendaharaan Negara Departemen Keuangan mengatakan, laporan keuangan itu telah diaudit oleh Kantor Akuntan Publik S. Manan. Audit terhadap laporan keuangan PT. KAI untuk tahun 2003 dan tahun-tahun sebelumnya dilakukan oleh Badan Pemeriksan Keuangan (BPK), untuk tahun 2004 diaudit oleh BPK dan akuntan publik.
Hasil audit tersebut kemudian diserahkan direksi PT. KAI untuk disetujui sebelum disampaikan dalam rapat umum pemegang saham, dan komisaris PT. KAI yaitu Hekinus Manao menolak menyetujui laporan keuangan PT. KAI tahun 2005 yang telah diaudit oleh akuntan publik. Setelah hasil audit diteliti dengan seksama, ditemukan adanya kejanggalan dari laporan keuangan PT. KAI tahun 2005.
Pajak pihak ketiga sudah tiga tahun tidak pernah ditagih, tetapi dalam laporan keuangan itu dimasukkan sebagai pendapatan PT KAI selama tahun 2005. Kewajiban PT. KAI untuk membayar surat ketetapan pajak (SKP) pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar Rp 95.200.000.000,00 Miliar yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pajak pada akhir tahun 2003 disajikan dalam laporan keuangan sebagai piutang atau tagihan kepada beberapa pelanggan yang seharusnya menanggung beban pajak itu. Padahal berdasarkan Standart Akuntansi, pajak pihak ketiga yang tidak pernah ditagih itu tidak bisa dimasukkan sebagai aset. Di PT. KAI ada kekeliruan direksi dalam mencatat penerimaan perusahaan selama tahun 2005.
Penurunan nilai persediaan suku cadang dan perlengkapan sebesar Rp 24.000.000.000,00 yang diketahui pada saat dilakukan inventarisasi tahun 2002 diakui manajemen PT KAI sebagai kerugian secara bertahap selama lima tahun. Pada akhir tahun 2005 masih tersisa saldo penurunan nilai yang belum dibebankan sebagai kerugian sebesar Rp 6 Miliar, yang seharusnya dibebankan seluruhnya dalam tahun 2005.
Bantuan pemerintah yang belum ditentukan statusnya dengan modal total nilai komulatif sebesar Rp 674,5 Miliar dan penyertaan modal negara sebesar Rp 70.000.000.000 Miliaoleh manajemen PT KAI disajikan dalam neraca per 31 Desember 2005 sebagai bagian dari hutang. Akan tetapi menurut Hekinus bantuan pemerintah dan penyertaan modal harus disajikan sebagai bagian dari modal perseroan.
Manajemen PT. KAI tidak melakukan pencadangan kerugian terhadap kemungkinan tidak tertagihnya kewajiban pajak yang seharusnya telah dibebankan kepada pelanggan pada saat jasa angkutannya diberikan PT KAI tahun 1998 sampai 2003.
Perbedaan pendapat terhadap laporan keuangan antara komisaris dan auditor akuntan publik terjadi karena PT. KAI tidak memiliki tata kelola perusahaan yang baik. Ketiadaan tata kelola yang baik itu juga membuat komite audit (komisaris) PT. KAI baru bisa dibuka akses terhadap laporan keuangan setelah diaudit akuntan publik.

ANALISIS KASUS
            Pada kasus yang telah dipaparkan diatas, PT.KAI merasa bahwa dalam laporan keuangan yang dihasilkan oleh akuntan ekstenal banyak sekali timbul kejanggalan secara implisit dan eksplisit. Dari laporan tersebut muncul beberapa kesalahan saji yang tidak sesuai dengan aturan yang berlaku sehingga Komisaris komite audit tidak ingin menandatanganinya. Akuntan eksternal tersebut tidak menjalankan tugas dengan semestinya. Dalam beberapa sumber penulis menemukan bahwa pada saat proses lelang pencarian akuntan publik, komisaris tidak ikut memilih yang terbaik sehingga komisaris tidak mengetahui kualitas akuntan publik yang ditunjuk tersebut.
            Terdapat beberapa salah saji material secara disengaja yang dihasilkan dari pelaporan audit yang dikeluarkan oleh akuntan publik. Pada kasus ini, akuntan publik diduga terlibat oleh pihak-pihak yang lain yang ingin mencari keuntungan. Setelah ditelusuri lebih jauh pemerintah dengan keputusan Menku nomor 500/KM.1/2007 memerintahkan untuk mencabut izin auditor dan KAP dalam jangka waktu 10 bulan.
            Terlihat sekali dalam proses pengauditan, kurangnya komunikasi dan pengawasan antara pihak PT.KAI dengan akuntan publik sangatlah berakibat fatal bagi pihak PT.KAI. Sangat jelas dalam satu contoh saat di laporan keuangan ditemukan PT.KAI mendapatkan keuntungan sebesar Rp. 6.900.000.000,00 padahal pada kenyataanya PT.KAI mengalami kerugian Rp.6.300.000.000,00 jelas sekali perbedaannya, sehingga kesalahan ini membuat pengaruh terhadap setiap item di laporan keuangan yang dikeluarkan oleh akuntan publik.
             Seorang auditor seharusnya dapat menganalisis resiko-resiko apa yang akan dihadapi oleh PT.KAI, namun karena terhalang kendala komunikasi dengan pihak PT.KAI dan audit intern maka akuntan publik tidak dapat mengetahui lingkungan di dalam PT.KAI yang sebenarnya. Dari kerancuan ini akuntan publik berhubungan dengan pihak lain yang mengetahui PT.KAI dan akuntan publik tersebut terpengaruh oleh hasutan untuk memanipulasi laporan keuangan PT.KAI untuk kepentingan masing-masing.

3. Studi Kasus yang Berkaitan Dengan Dilema Etika Profesi Pada Bidang Thermal

Kasus Komponen Pada Air Pendingin Pada HX
  Generator merupakan salah satu komponen yang harus diperhatikan dalam suatu sistem pembangkit yang berfungsi sebagai alat pengubah energi mekanik menjadi energi listrik. Ketika generator beroperasi, panas akan timbul sebagai bentuk transformasi dari rugi-rugi pada inti besi maupun belitan stator dan rotor. Pemasangan sistem pendingin merupakan salah satu cara supaya panas yang timbul tidak melebihi batas ketentuan berdasarkan data desain atau data commissioning-nya.
  Pendinginan generator di PLTA Cirata dilakukan dengan menggunakan alat penukar kalor yang disebut air cooler. Udara panas disekitar kumparan generator dihembuskan melewati pipa-pipa pendingin pada air cooler yang didalamnya mengalir air sebagai fluida penyerap panas. Air tersebut harus terhindar dari material/senyawa yang dapat mengakibatkan timbulnya endapan-endapan pada pipa pendingin. Apabila pada pipa-pipa tersebut terdapat endapan, penyerapan panas oleh air akan berkurang. Hal ini menjadi penyebab kemampuan/efektifitas alat pendingin mengalami penurunan

Sumber

 Contoh Soal
1. Merk mobil dalam Dilema Etika Profesi Pada Bidang Design dan Proses Produksi adalah ?
a. Honda
b. Toyota
c. Daihatsu
d. Ford 

2. Masalah dalam kasus mobil Ford Pinto adalah ?
a. Tangki Gas
b. Kaca
c. Pintu
d. Pedal Gas

3. Berapa remaja yang meninggal dalam kasus mobil Ford Pinto ?
a. 1
b. 2
c. 3
d. 4

4. PT KAI singkatan dari ?
a. Kereta Api India
b. Kereta Api Indonesia
c. Kereta Api Inggris
d. Kereta Api Israel

5. Air yang mengalir sebagai penyerap panas adalah ?/
a. Fluida
b. Frolida
c. Kalori
d. NaCl