Studi Kasus Numerik Berkenaan dengan Etika Profesi
1. Studi Kasus yang Berkaitan Dengan
Dilema Etika Profesi Pada Bidang Design dan Proses Produksi
Ford Pinto adalah mobil yang diproduksi oleh perusahaan
Ford. Desainer Ford Pinto menempatkan tangki bahan bakar di bagian belakang
mobil, di bagian belakang poros. Hal ini dilakukan untuk menciptakan ruang
bagasi yang lebih besar. Desain ini sangat berbahaya, jika mobil ditabrak dari
belakang bisa menyebabkan ledakan yang disebabkan tangki bahan bakar.
Kontroversi seputar Ford Pinto menyangkut
penempatan tangki bahan bakar mobil. Penempatan tangki bahan bakar terletak di
belakang poros belakang, bukan di atasnya. Hal ini dilakukan untuk menciptakan
ruang bagasi yang lebih besar. Masalah dengan desain, yang kemudian menjadi
jelas, adalah bahwa itu membuat Pinto lebih rentan terhadap tabrakan belakang.
Kerentanan ini ditingkatkan dengan fitur lain dari mobil. Tangki gas dan poros
belakang dipisahkan dengan hanya sembilan inci. Ada juga baut yang diposisikan
dengan cara yang mengancam tangki bensin. Akhirnya, desain pipa pengisi bahan
bakar menghasilkan probabilitas yang lebih tinggi yang akan memutuskan
sambungan dari tangki dalam hal terjadi kecelakaan bias terjadi, menyebabkan
tumpahan gas yang dapat menyebabkan kebakaran yang berbahaya. Karena banyaknya
kelemahan dalam desain ini, Pinto menjadi pusat perdebatan publik.
Kronologi Kasus
Pada tanggal 10 Agustus 1978, sebuah Ford Pinto ditabrak
dari belakang di jalan raya Indiana. Hantaman tabrakan itu menyebabkan tangki bahan
bakar Pinto pecah, meledak dan terbakar. Hal ini mengakibatkan kematian tiga
remaja putri yang berada di dalam mobil itu. Kejadian ini bukan pertama
kalinya Pint terbakar akibat tabrakan dari belakang. Dalam tujuh tahun sejak
peluncuran Pinto, sudah ada 50 tuntutan hukum yang berhubungan dengan tabrakan
dari belakang. Meskipun demikian, kali ini Ford dituntut di pengadilan criminal
akibat penumpangnya tewas.
Untuk kasus ini, desainer dan pihak Ford secara keseluruhan
tidak memikirkan dampak berbahaya yang bisa terjadi. Desain dari mobil Ford
Pinto tidak memikirkan aspek keamanan dan keselamatan nyawa pengemudi dan
penumpangnya.
Dilema yang dihadapi para desainer yang mengerjakan Pinto
adalah menyeimbangkan keselamatan orang yang mengendarai mobil dan kebutuhan
untuk memproduksi Pinto dengan harga yang dapat bersaing di pasar. Mereka harus
berusaha menyeimbangkan tugas mereka kepada public dan tugas mereka kepada
atasan. Akhirnya usaha Ford untuk menghemat beberapa dolar dalam biaya
manufaktur mengakibatkan pengeluaran jutaan dolar untuk membela diri dari
tuntutan hukum dan membayar ganti rugi korban. Tentu saja ada juga kerugian
akibat hilangnya penjualan akibat publisitas buruk dan persepsi publik bahwa
Ford tidak merancang produknya untuk keamanan pengendara.Semua menjadi dilemma.
Karena sangat sulit kalau sebuah institusi lebih mengutamakan laba perusahaan
daripada nyawa manusia.
Pada awalnya desain yang berbahaya ini telah diketahui oleh
perusahaan Ford sebelum mobil Ford Pinto dipasarkan, namun Ford lebih memilih
untuk membayar biaya ganti rugi kematian daripada mendesain ulang tangki bahan
bakar, karena dirasa akan membutuhkan biaya yang lebih besar untuk mendesain
ulang tangki bahan bakar.
Analisis Kasus Ford Pinto
Etika hendaknya diterapkan dalam bisnis dengan menunjukkan
bahwa etika konsistem dengan tujuan bisnis, khususnya dalam kencari keuntungan.
Jika perusahaan Ford memperhatikan keselamatan pengendara dalam produksi Ford
Pinto, perusahaan Ford tidak akan mengeluarkan biaya tambahan untuk memberikan
ganti rugi pada korban kecelakaan.
Dalam
pengerjaan teknis perancangan dan pembuatan sebuah mobil Ford Pinto, terjadi
juga pelanggaran kode etik seorang insinyur/engineer yaitu
”… membuat keputusan yang konsistem
terhadap keselamatan, kesehatan, dan kesejahteraan public, serta menghindari
sekaligus menyungkap faktor-faktor yang membahayakan public dan lingkungan.”
Etika
bisnis berkonsentrasi pada standar moral sebagaimana diterapkan dalam
kebijakan, institusi, dan pelaku bisnis. Etika bisnis merupakan studi standar
formal dan bagaimana standar itu diterapkan ke dalam sistem dan organisasi yang
digunakan masyarakat modern untuk memproduksi dan mendistribusikan barang dan
jasa, serta diterapkan kepada orang-orang yang ada di dalam organisasi.
Sebagai
seorang wirausaha hendaknya menerapkan etika saat berusaha. Dalam bidang
otomotif ada etika engineering dan etika bisnis yang mengikat dan harus
ditaati. Kejayaan suatu perusahaan besar dituntut dari hal-hal seperti
kepercayaan, nama baik perusahaan, produk yang berkualitas, dan tentunya
ketahanan terhadap persaingan dengan kompetitor. Dalam kasus Ford Pinto,
keputusan bisnis yang dibuat untuk memenangkan persaingan dengan kompetitor
telah mengabaikan kepercayaan, nama baik perusahaan, kualitas produk dengan
mengabaikan etika-etika dasar yang harusnya ditaati.
Kasus
Ford Pinto tidak akan terjadi jika kebijakan bisnis untuk mendapatkan laba yang
lebih besar dengan mengorbankan keamanan tidak diambil oleh Ford. Kepercayaan
konsumen terhadap sebuah produk bisnis sangatlah penting, karena menjadi poin
dasar dalam penentuan pemasaran produk dan keberlangsungan sebuah perusahaan.
2. Studi Kasus yang Berkaitan Dengan
Dilema Etika Profesi Pada Bidang Material
Kasus
Kasus PT KAI
Diduga terjadi manipulasi data dalam laporan keuangan PT KAI
tahun 2005, perusahaan BUMN itu dicatat meraih keutungan sebesar Rp
6.900.000.000,00. Padahal apabila diteliti dan dikaji lebih rinci, perusahaan
seharusnya menderita kerugian sebesar Rp 63.000.000.000,00. Komisaris PT. KAI,
Hekinus Manao yang juga sebagai Direktur Informasi dan Akuntansi Direktorat
Jenderal Perbendaharaan Negara Departemen Keuangan mengatakan, laporan keuangan
itu telah diaudit oleh Kantor Akuntan Publik S. Manan. Audit terhadap laporan
keuangan PT. KAI untuk tahun 2003 dan tahun-tahun sebelumnya dilakukan oleh
Badan Pemeriksan Keuangan (BPK), untuk tahun 2004 diaudit oleh BPK dan akuntan
publik.
Hasil audit tersebut kemudian diserahkan direksi PT. KAI
untuk disetujui sebelum disampaikan dalam rapat umum pemegang saham, dan
komisaris PT. KAI yaitu Hekinus Manao menolak menyetujui laporan keuangan PT.
KAI tahun 2005 yang telah diaudit oleh akuntan publik. Setelah hasil audit
diteliti dengan seksama, ditemukan adanya kejanggalan dari laporan keuangan PT.
KAI tahun 2005.
Pajak pihak ketiga sudah tiga tahun tidak pernah ditagih,
tetapi dalam laporan keuangan itu dimasukkan sebagai pendapatan PT KAI selama
tahun 2005. Kewajiban PT. KAI untuk membayar surat ketetapan pajak (SKP) pajak
pertambahan nilai (PPN) sebesar Rp 95.200.000.000,00 Miliar yang diterbitkan
oleh Direktorat Jenderal Pajak pada akhir tahun 2003 disajikan dalam laporan
keuangan sebagai piutang atau tagihan kepada beberapa pelanggan yang seharusnya
menanggung beban pajak itu. Padahal berdasarkan Standart Akuntansi, pajak pihak
ketiga yang tidak pernah ditagih itu tidak bisa dimasukkan sebagai
aset. Di PT. KAI ada kekeliruan direksi dalam mencatat penerimaan
perusahaan selama tahun 2005.
Penurunan nilai persediaan suku cadang dan perlengkapan
sebesar Rp 24.000.000.000,00 yang diketahui pada saat dilakukan inventarisasi
tahun 2002 diakui manajemen PT KAI sebagai kerugian secara bertahap selama lima
tahun. Pada akhir tahun 2005 masih tersisa saldo penurunan nilai yang belum
dibebankan sebagai kerugian sebesar Rp 6 Miliar, yang seharusnya dibebankan seluruhnya
dalam tahun 2005.
Bantuan pemerintah yang belum ditentukan statusnya dengan
modal total nilai komulatif sebesar Rp 674,5 Miliar dan penyertaan modal negara
sebesar Rp 70.000.000.000 Miliaoleh manajemen PT KAI disajikan dalam neraca per
31 Desember 2005 sebagai bagian dari hutang. Akan tetapi menurut Hekinus
bantuan pemerintah dan penyertaan modal harus disajikan sebagai bagian dari
modal perseroan.
Manajemen PT. KAI tidak melakukan pencadangan kerugian
terhadap kemungkinan tidak tertagihnya kewajiban pajak yang seharusnya telah
dibebankan kepada pelanggan pada saat jasa angkutannya diberikan PT KAI tahun
1998 sampai 2003.
Perbedaan pendapat terhadap laporan keuangan antara komisaris
dan auditor akuntan publik terjadi karena PT. KAI tidak memiliki tata kelola
perusahaan yang baik. Ketiadaan tata kelola yang baik itu juga membuat komite
audit (komisaris) PT. KAI baru bisa dibuka akses terhadap laporan keuangan
setelah diaudit akuntan publik.
ANALISIS KASUS
Pada kasus yang telah dipaparkan diatas, PT.KAI merasa bahwa dalam laporan
keuangan yang dihasilkan oleh akuntan ekstenal banyak sekali timbul kejanggalan
secara implisit dan eksplisit. Dari laporan tersebut muncul beberapa kesalahan
saji yang tidak sesuai dengan aturan yang berlaku sehingga Komisaris komite
audit tidak ingin menandatanganinya. Akuntan eksternal tersebut tidak
menjalankan tugas dengan semestinya. Dalam beberapa sumber penulis menemukan
bahwa pada saat proses lelang pencarian akuntan publik, komisaris tidak ikut
memilih yang terbaik sehingga komisaris tidak mengetahui kualitas akuntan
publik yang ditunjuk tersebut.
Terdapat beberapa salah saji material secara disengaja yang dihasilkan dari
pelaporan audit yang dikeluarkan oleh akuntan publik. Pada kasus ini, akuntan
publik diduga terlibat oleh pihak-pihak yang lain yang ingin mencari
keuntungan. Setelah ditelusuri lebih jauh pemerintah dengan keputusan Menku
nomor 500/KM.1/2007 memerintahkan untuk mencabut izin auditor dan KAP dalam
jangka waktu 10 bulan.
Terlihat sekali dalam proses pengauditan, kurangnya komunikasi dan pengawasan
antara pihak PT.KAI dengan akuntan publik sangatlah berakibat fatal bagi pihak
PT.KAI. Sangat jelas dalam satu contoh saat di laporan keuangan ditemukan
PT.KAI mendapatkan keuntungan sebesar Rp. 6.900.000.000,00 padahal pada
kenyataanya PT.KAI mengalami kerugian Rp.6.300.000.000,00 jelas sekali
perbedaannya, sehingga kesalahan ini membuat pengaruh terhadap setiap item di
laporan keuangan yang dikeluarkan oleh akuntan publik.
Seorang auditor seharusnya dapat menganalisis resiko-resiko apa yang akan
dihadapi oleh PT.KAI, namun karena terhalang kendala komunikasi dengan pihak
PT.KAI dan audit intern maka akuntan publik tidak dapat mengetahui lingkungan
di dalam PT.KAI yang sebenarnya. Dari kerancuan ini akuntan publik berhubungan
dengan pihak lain yang mengetahui PT.KAI dan akuntan publik tersebut
terpengaruh oleh hasutan untuk memanipulasi laporan keuangan PT.KAI untuk
kepentingan masing-masing.
3. Studi Kasus yang Berkaitan Dengan
Dilema Etika Profesi Pada Bidang Thermal
Kasus Komponen Pada
Air Pendingin Pada HX
Generator merupakan salah satu komponen
yang harus diperhatikan dalam suatu sistem pembangkit yang berfungsi sebagai
alat pengubah energi mekanik menjadi energi listrik. Ketika generator beroperasi,
panas akan timbul sebagai bentuk transformasi dari rugi-rugi pada inti besi
maupun belitan stator dan rotor. Pemasangan sistem pendingin merupakan salah
satu cara supaya panas yang timbul tidak melebihi batas ketentuan berdasarkan
data desain atau data commissioning-nya.
Pendinginan generator di PLTA Cirata
dilakukan dengan menggunakan alat penukar kalor yang disebut air cooler. Udara
panas disekitar kumparan generator dihembuskan melewati pipa-pipa pendingin
pada air cooler yang didalamnya mengalir air sebagai fluida penyerap panas. Air
tersebut harus terhindar dari material/senyawa yang dapat mengakibatkan
timbulnya endapan-endapan pada pipa pendingin. Apabila pada pipa-pipa tersebut
terdapat endapan, penyerapan panas oleh air akan berkurang. Hal ini menjadi
penyebab kemampuan/efektifitas alat pendingin mengalami penurunan
Sumber
Contoh Soal
1. Merk mobil dalam Dilema Etika Profesi Pada Bidang Design dan Proses Produksi adalah ?
a. Honda
b. Toyota
c. Daihatsu
d. Ford
2. Masalah dalam kasus mobil Ford Pinto adalah ?
a. Tangki Gas
b. Kaca
c. Pintu
d. Pedal Gas
3. Berapa remaja yang meninggal dalam kasus mobil Ford Pinto ?
a. 1
b. 2
c. 3
d. 4
4. PT KAI singkatan dari ?
a. Kereta Api India
b. Kereta Api Indonesia
c. Kereta Api Inggris
d. Kereta Api Israel
5. Air yang mengalir sebagai penyerap panas adalah ?/
a. Fluida
b. Frolida
c. Kalori
d. NaCl